she mentions herself as Roora (Lula.red).
This is her 'Mask of Cloud, Wind and Sun.' (not one of your solar system reference, note that) Come in to the circus, and enjoy da show.
My.
lulayamada; flavors.me
PEOPLE'S
Ryokushoku o Obita || Kharisma Cendana Harry Sekarwangi || Marsha Sortatiur Nathania Tinambunan || Mayang Syafira Lintang || Satiya Bagja Perkasa || Soraya Sabira Priyandina || Rizki Rimadina || Salwa Muniroh
Just Ignore Me, Can't You?
Minggu, 08 April 2012

Bahkan jadwal piket masih ia jalankan—catatan, dengan ikhlas. Gadis Shimizu yang tidak populer sebagai seorang yang rajin bukan sedang mencari nama di kelas. Hanya melaksanakan kewajiban pokok sebagai murid. Saat masih bersekolah di akademi biasa, Akira termasuk teladan. Namun, hebatnya, ia jarang pamer ke teman-teman alih-alih kebersihan kelas. Toh, hanya sekali dalam seminggu.

Sapu—pel—lap. Gosok-gosok debu, hmm...

“Huatchim!” Alergi debu, Akira? Oh, tidak kok. Tapi hari panas begini bukannya cerah sore yang ia dapatkan, malah memberikan potensi pengap yang luarbiasa. Lingkungan hijau Ryokubita sekejap menjadi gersang, “Gatal...” menggosok-gosok hidungn Alergi debu, Akira? Oh, tidak kok. Tapi hari panas begini bukannya cerah sore yang ia dapatkan, malah memberikan potensi pengap yang luarbiasa. Lingkungan hijau Ryokubita sekejap menjadi gersang, “Gatal...” menggosok-gosok hidungya hati-hati. Menggerakannya dengan jari telunjuk tangan kiri, sedangkan tangan kanan memegang sapu. Sedang dalam proses penyelesaian. Sebentar lagi cabut.

Omong-omong, sudah jam pulang, wajar kelas sekarang kosong. Anak-anak lain pasti sudah kembali ke asrama. Yakinlah Mayoko dan kawan-kawan telah berleha-leha di kasur dan geng-geng cowok bara angkatannya kumpul bareng seperti jadwal mereka—setiap hari, ngartis banget—membuat ruang rekreasi yang dipakai seluruh murid-murid Ryokubita tanpa terkecuali berantakan dengan bantal-bantal kursi yang berserakan dan meninggalkan sampah bungkus makanan-kaleng minuman. Hh, pokoknya mereka mengesalkan sekali. Tunggu sampai kepala asrama ada yang memergoki mereka—selama ini cuma lolos-lolos saja, perasaan.

Salah-satu manusia yang berada pada bagian tersebut sangat Akira kenal sebagai pencipta masalah dimanapun gadis ini meminjakkan kaki di antero bumi—

“Woy kecil—”

“hng?”

“—minggir.”

—ya, ini dia, Arata Konoe. VII-1, Bara. Kenapa sih bisa ada monster seperti dia yang tercipta?

Tubuh mungil Akira digeser paksa oleh tangan kasar tak bertanggung jawab. Ada saja cemooh barunya, setiap hari. Kreatif, dalam konstek buruk. Akira sampai harus makan hati terus, walau ujung-ujungnya ia bakal keluarkan sifat asli yang jutek. Begini-begini Akira bisa melawan. Beberapa kali Akira berhasil memergoki Arata dengan kelakuan bodohnya. Sempat tertawa—eh, ralat—menertawai. Kalau perlu, ia tertawakan di depan orang banyak, lain kali.

Kali ini sih, Akira pilih diam.

Tapi matanya tidak, terus mengobservasi Arata sekaligus gelagatnya. Orang aneh, masuk kelas dengan malas, lalu menyiksa dan sekarang—“HEY! Jangan rusak susunan kursinyaa!” Akira buka mulut, ini bukan sesuatu yang harus dibiarkan tahu. Arata berusaha merusak keindahan kelasnya yang baru sesaat. Bagaimana perasaan kalian kalau jadi Akira? Tahu kan rasanya?

Pria itu terperangah sejenak lalu melanjutkan kegiatannya memeriksa kolong meja, “Kalau ada yang ketinggalan bilang saja—“ Akira membawa tubuh mungilnya mendekati Arata dan sekejap mengopi gerakan, “—Aku tadi piket,  mungkin melihatnya—“ Arata berpindah menjauhi, ternyata ia berjalan tepat ke tumpukan sampah yang baru saja Akira selesai kumpulan. Arata mungkin kelewat pinta—diacak-acaknya kotak sampah dengan wajah tanpa dosa, “—Jangan hey—“ PRANG! Kotak sampahnya tumpah—Arata yang menjatuhkannya.

“K-kurang aj—“

“Ketemu!”

“Apa-apaan sih kau, menghancurkan semuanya... Sini tanggung jawab dulu, jangan pergi, hey kau!”

Arata kabur, ia berlari menuju pintu keluar. Tapi sayang kaki panjangnya tidak bersahabat dengan hakama yang ribet ini, “Siniiii... bereskan duluuu...”

“Lepaskan tanganmu dari telingaku, pendek!”

“Tidak mau!”

Ck.

“Woy, upil naga! Boleh tanya, ‘kan? Kau kecilnya di panti jompo—eh?”
Kok tahu.
“Cerewet, seperti nenek-nenek!”
Kabur.

~0o0o0~

Tempat pensilnya ketinggalan. Wahaha, Akira kau kenapa?

Pasti ia lupa masukkan lagi dalam tas setelah belajar tadi malam—ah tahu begini, tidak usah buka buku sekalian saja. Lagian ia sudah lelah karena piket sendirian. Dan ceritanya, kalau tidak bawa alat tulis, bagaimana ia mau mencatat hari ini? Tidak bisa dibiarkan kalau ia harus ketinggalan pelajaran Gonda-Sensei alih-alih tidak mampu mencatat semua pembahasan hari ini yang biasanya akan lebih didominasi oleh pertanyaan-pertanyaan. Mencatat di luar kepala? Memangnya Akira mesin? Agak mustahil apalagi sampai mengingat detail sebuah peristiwa yang Gonda-Sensei jelaskan.

—“Kau ada pensil tidak?” meminta bantuan pada teman-teman dengan jarak terdekat. Semua menggeleng dengan berbagai alibi. Kebanyakan hanya punya satu, ada sih yang punya lebih tapi sudah dipinjam sama yang lain. Bahkan, ada yang sama-sama tidak punya dan mereka memang tidak perlu membawa—kelihatannya, “Bolpoin deh bolpoin.” Baik, hari ini banyak yang senasib dengan Akira, setidaknya.

Kepalanya berotasi. Mengantisipasi setiap makhluk-makhluk dengan perawakan penuh kelengkapan alat tulis.

Sial!

—Akira malah menemukan, pria itu, Arata. Duduk pada bagian nyaris paling belakang yang mungkin saja tempat yang pas untuk tidak memperhatikan atau diperhatikan Gonda-Sensei. Menadahi kepalanya dengan permukaan meja dan meniup dua buah pensil yang menggelinding menjauhi-mendekati bibirnya.

Hah, demi apapun, Akira tidak mau pinjam ke Arta. Harga dirilah. Gengsi dong meminjam pada pria licik, “Punya pensil lagi?” masih keliling kelas tanpa memedulikan Arata, usaha-usaha-usaha. Tapi jangan sampai ketahuan dua orang ini—Gonda-sensei yang bakal marah karena menyaksikan akira hilir mudik. Dan pastinya Arata. Ih, ogah. Bukannya dipinjamkan karena kasihan. Pria itu akan puas dalam cemoohannya lagi nantinya.

Benar saja, Akira tidak ketahuan. Tetapi hasilnya, nihil.

Akhirnya Akira memutuskan kembali ke mejanya. Awalnya Akira masih duduk dengan benar, lama kelamaan ia menadah dagu dengan menengadahkan kedua tangan sembari menutup mata dan berdoa ada keajaiban datang. Refleks, kepalanya menoleh ke Arata dengan isyarat ‘ingin pinjam’ yang tidak sengaja muncul dari air wajahnya. Cih, ia malah balik lihat.

Arata hanya memberikan isyarat. Kepalanya di dongakan sedikit, ‘apa?’ mungkin artinya begitu. Akira juga tidak tahu pasti. Sekarang Arata mengambil salah-satu dari pasangan pensil di mejanya. Menunjukkannya ke arah Akira, masa ia akan meminjamkannya dan berharap Akira akan meraih si pensil. Lama ia bertahan dengan posisi begitu. Arata benar-benar—Shimizu kecil menerima isyarat itu dengan mulai bergerak untuk meraih pensilnya, kali ini pakai senyum. Astaga. Ia pasti bahag—

“Weeeeek!” ditariknya pensil tersebut lalu dipatahkan sambil memeletkan lidah.

KUTARIK NANTI LIDAHMU ARATA BODOH!

Atau Akira yang bodoh?

Wajah kesal yang Akira pamerkan kini berdalih menghadap ke depan kelas. Ada Gonda-sensei dan kumpulan tulisan kanji yang tidak akan bisa ia hapalkan begitu saja kalau tidak dicatat. Nama tempat, nama pahlawan, nama peristiwa. Bagaimana Akira bisa mengingat yang hari ini?

Hampir menangis.

PLUK!

Sesuatu menyentuh kepalanya. Tidak sakit sih, tapi lemparannya dirasa tepat. Menoleh kembali ke belakangnya. Berharap bukan Arata. Sebelumnya, matanya terpasang pada sebuah pensil yang menggelinding di dekatnya. I-ini kan—tanpa terimakasih, Akira melirik minimal pada karakter yang sudah diyakini sebagai pemilik pensil.

Mulai mencatat.

~0o0o0~

Mau apa sekarang? Kembalikan sambil ucapkan terimakasih, pastinya. Harus pakai senyum deh.

“Haloo... Arata terimakasih, yaa.” Melemparnya ke atas tas Arata.

“—oh iya.”

Memperhatikan pria tersebut memasukkan pensilnya ke dalam kantung tasnya yang ternyata hanya berisi sebuah pensil pasangan patahan yang dipakai Akira. Dan bagian tersebut tidak diserut sama sekali, “Kau menulis pakai apa hari ini? Dan mana pensil satu lagi, yang tadi kau tiup-tiup saat pelajaran sejarah? Jangan-jangan hari ini kau juga meninggalkannya? Jangan acak-acak tempat sampah lag—“

Arata malah menatapnya dingin, “...hh. Baka.” Seringai. Menyebalkan, seringai menyebalkan Arata muncul!

“K-kenapa?”

“Itu punya Yasushi. Aku cuma bantu cari—“ Setelah selesai memasukkan barang-barangnya yang memang tidak banyak—niat sekolah tidak, sih—“Coba kau sudah buang sampahnya kemarin, tidak bisa kau pinjam pensilku hari ini. Lebih baik kupinjamkan pada Yasushi.”

Pergi.

Kata-katanya selalu bisa membuat orang-orang merasa bersalah. Karakteristik Bara—mungkin saja.




Verdigris.
Jumat, 30 Maret 2012

#1
--- 
Mungkin, harusnya ia marah atau bahkan diam saja.

Mungkin.

Seingat Matthew Oh, tidak ada janji yang diberikan Ayah yang pernah ditepati—memang. Harusnya ia menyadari dari awal. Benar. Matthew tidak harus berada di Jepang sendirian. Susun ulang rencana untuk liburan tahun depan. Lebih baik, ia mengusahakan Mr. Smitthenson untuk ikut, namun membiarkan ia tinggal di tempat lain. Di hotel yang berbeda dengannya. Misal Matthew berada di Tokyo, perintahkan saja Mr. Smitthenson pergi ke hotel lain di—bisa jadi Osaka atau Sendai bahkan yang agak lebih jauh sedikit, di Hokkaido. Sebenarnya pengetahuan Matthew mengenai kota-kota yang terdapat di Jepang sangat minim. Ia hanya berusaha sok tahu, kali ini. Seperti biasa.

Di depan Mr. Smitthenson ia bisa mengomel panjang lebar. Mengutuk-ngutuk pengawalnya seakan mengikis kesabaran pria tua tersebut. Tapi sekarang, dalam perjalanannya menuju mobil, Matthew hanya sanggup melihat ke bawah. Searah langsung dengan layar telepon genggam yang sedang menyala di genggaman sambil mengetik asal alih-alih menghilangkan depresi. Setelah ini ia akan kisut setengah mati dibentak oleh ayahnya. Ayahnya yang seorang pengusaha akan memberikan segalanya pada Matthew asal hal tersebut dapat didapatkan dengan uang. Dimanjakan. Anehnya, sifat disiplin seorang pengusaha tetap diajarkan pada anaknya sebagai penerus tunggal perusahaan. Jadi, Matthew akan sering dimarahi dengan segala kesalahan yang ada termasuk kabur sendirian ke Jepang—ia mengira.

Tetapi, bukannya ganjil kalau ayahnya menyusul ke Jepang hanya karena hal ini, lagipula Matthew sudah izin. Bahkan tidak satu pihak saja pada Ibu, tapi pada ayahnya juga.

Mobil sedan hitam mengkilat yang di parkir agak jauh dari taman tempatnya bersantai barusan menikmati gugurnya sakura 2011 terlihat jelas, bahkan dari jarak yang lumayan jauh. Matthew mengawasi dari jauh. Memperkirakan kehadiran orangtuanya di dalam sana. Ia menyipitkan mata berusaha mencari tahu. Kalau-kalau ada bayangan sepasang manusia muncul, ia bersiap mencari kalimat pembelaan. Walau tetap merasakan keanehan dengan semuanya. Mungkin ia akan berakhir dengan kalimat pertanyaan ‘ada apa?’ dan sejenisnya.

Mr. Smitthenson dengan penampilan normalnya, pakaian seragam lengkap, kemeja putih, jas hitam sekaligus dasi dan terusan senada—pria tua botak beruban itu lari lebih cepat meraih gagang pintu mobil.

Syukurlah.

Tangan keriputnya menunjuk ke dalam mobil. Bahasa tubuh mempersilahkan Matthew untuk masuk pada bangku belakang. Well, tidak ada siapa-siapa. Ternyata Mr. Smitthenson sendirian. Kenapa tidak bilang daritadi. Tidak perlu membuat Matthew was-was, bisakan?

“Dimana ayah dan ibu?” Resonansinya meninggi, tidak ada lagi yang perlu ditakutkan. Disaat yang sama, segera sang pengawal mengencangkan sabuk pengamannya dan melirik sedikit ke spion. Terdengar pula suara gas mobil lembut dari dalamnya.

Pak tua itu diam, “Kita mau kemana?”

Masih hening.

“Hei!”

Matthew melempar telapak kakinya ke lantai mobil. Baiklah, rasa kesalnya hilang—sedikit. Dikarenakan ia lebih baik makan hati terlebih dahulu seperti biasa dengan kelakuan Mr. Smitthenson yang terkadang ya, ia lebih memilih untuk mendengarkan ayah. Pasti ini karena ayah, memerintahkannya untuk diam sepanjang Matthew bertanya. Bilang saja.

Tiga menit, lima menit, sepuluh menit.

Sebuah putaran setir mengakhiri perjalanan mereka. Di depan gedung dengan desain biasa seperti kantor pada umumnya. Matthew belum mau turun sedangkan lagi-lagi Mr. Smitthenson melakukan kegiatannya berulang untuk membuka pintu untuk Matthew dan rentak ripitasi memberikan tangannya terulur mengarah ke luar mobil.

Kali ini Matthew memilih bungkam tanpa banyak bertanya. Meletakkan telepon genggam di dalam kantung jaket lalu menyisihkan diri keluar dari mobil lewat pintu sebelah kiri yang langsung mengarah pada pintu masuk gedung. Gedung tinggi yang mungkin terhitung ada belasan lantai di dalamnya.

Mengikuti Mr. Smitthenson dari belakang setelah pria tersebut menutup pintu mobil. Matthew mengerti. Pasti ini tempat dimana ayah berada. Yang ia pikirkan, mungkin sekarang ayah punya urusan lain mengenai bisnisnya disini. Tetapi apa urusan anak laki-laki tunggalnya dengan bisnis? Matthew belum bisa diandalkan sama sekali tentang urusan begini. Jangan salahkan kenapa ia bingung.

“Ibu!” Langkahnya diperbesar bahkan sanggup menyusul posisi Mr. Smitthenson. Ternyata ibu telah berada di lobi—ia menunggu. Setelah mencapai ibunya, ia memeluk wanita bermarga sama dengannya itu, “Ibu tahu kenapa aku dibawa kesini?” Tipikal manja. Cara bertanyanya pun tidak sesuai dengan genitasnya sebagai seorang laki-laki dengan usia remaja.

Tubuhnya masih terbalut tangan ibu, “it seems your dad hiding something, eh?” Refleks pria dalam konversasi mengangguk.

“Ibu saja yang beritahu,” Ucap wanita paruh baya dengan dandanan berlebihan di hadapannya, “Tapi kalau ayah datang, Matt harus berakting tidak tahu apa-apa, ya?” Sekali lagi, Matthew mengangguk—payah, dengan gayanya yang manja, “Ikut ibu.” Dan ya, Mr. Smitthenson mengikuti dari belakang.

Gedung besar tersebut menjadi tanda tanya besar bagi Matthew. Apa ini? Untuk apa ini? Dan yang terpenting, apa hubungannya dengan dirinya?

Sadarkah, setelah ia menjadi murid Beauxbatons Academy dan keluar dari sana untuk liburan, keluarganya terlihat lebih aneh. Merasa?

Badannya menempel pada sang ibu. Matthew mencintai ibu lebih dari apapun. Bahkan, setelah usahanya kabur ke Jepang malah tertangkap seperti ini, bisa ia lupakan seketika hanya dengan elusan dari sang ibu. Bocah. Namun ia tidak terlalu memperdulikan hal yang ia lakukan pada ibunya di depan banyak orang. Seperti biasa, ia cuek. Lagipula beberapa orang yang dilihatnya bahkan yang saling mengawasi dengan Matthew lagaknya mirip dengan anak buah ayah di kantor Korea. Memberikannya sedikit kode.

“Kantor ini punya ayah, Bu?”

“Na-ah.” Gelengan yang ia dapatkan.

Terakhir, langkah mereka sama-sama terhenti di sebuah pintu besar yang di dalamnya tergambar sebuah ruangan luas dengan ornamen kaca ukiran. Ibunya melepas pegangan erat Matthew dengan lembut lalu perlahan membuka lebar pintu tersebut.

Percaya atau tidak, ruangan itu tidak berisi sesuatu yang istimewa. Hanya beberapa sofa berjajar, sebuah bendera jepang di belakang meja kerja dan kursi hitam bersandar dari kulit. Kaca-kaca besar dua kali tinggi Matthew sebagai jendela dan ornamen wallpaper ukiran-ukiran bunga pada dindingnya. Warna monoton putih dan hitam mendominasi. Biasa bukan.

Ibu menariknya masuk ke dalam, duduk di sofa lembut seperti di rumah dan menutup pintunya lagi-lagi dengan lembut.

Heran, ibu masih bisa bilang ini bukan kantor milik ayah sedangkan mereka dengan santainya masuk ke dalam ruangan yang sepertinya menjadi ruangan utama dalam gedung tersebut. Ruangan teristimewa sepanjang Matthew berkeliling.

“Perusahaan ini bergerak di bidang pendidikan.” Ibunya memulai dengan rentak duduknya bersebelahan dengan Matthew. Sekarang yang berkromosom XY satu-satunya merasa pembicaraan ini mulai serius. Ibu memulai kisahnya, “Ya, ibu tidak tahu jelas sih masalah begini—“ jeda, Ibu memainkan jemarinya sambil bergantian melirik pada Matthew lalu jendela ke luar, “—tapi yang ibu dengar dari ayah, tugasmu hanya untuk mengatur ini-itu. Pokoknya ibu tidak mengerti jelas.”

“Hah?”

Suaranya tersendat, “tugasku?”

“I-iya.”

Ibu pasti bercanda, ia tahu pasti ibunya suka bermain-main. Memutuskan untuk mengabaikan pernyataan tersebut. Selanjutnya—“kenapa bisa duduk santai disini, kalau bukan kantor ayah—jadi gedung ini milik siapa?”

...

“Milikmu, nak.” Mr. Smitthenson mengangguk dari sudut lain ruangan dan menyembunyikan sebuah seringai.

Oh, sial.