Just Ignore Me, Can't You?
Minggu, 08 April 2012
Bahkan
jadwal piket masih ia jalankan—catatan, dengan ikhlas. Gadis Shimizu yang tidak
populer sebagai seorang yang rajin bukan sedang mencari nama di kelas. Hanya melaksanakan
kewajiban pokok sebagai murid. Saat masih bersekolah di akademi biasa, Akira
termasuk teladan. Namun, hebatnya, ia jarang pamer ke teman-teman alih-alih
kebersihan kelas. Toh, hanya sekali dalam seminggu.
Sapu—pel—lap. Gosok-gosok debu, hmm...
“Huatchim!”
Alergi debu, Akira? Oh, tidak kok. Tapi hari panas begini bukannya cerah sore
yang ia dapatkan, malah memberikan potensi pengap yang luarbiasa. Lingkungan
hijau Ryokubita sekejap menjadi gersang, “Gatal...” menggosok-gosok
hidungn Alergi debu, Akira? Oh, tidak kok. Tapi hari panas begini bukannya
cerah sore yang ia dapatkan, malah memberikan potensi pengap yang luarbiasa.
Lingkungan hijau Ryokubita sekejap menjadi gersang, “Gatal...” menggosok-gosok
hidungya hati-hati. Menggerakannya dengan jari telunjuk tangan kiri, sedangkan
tangan kanan memegang sapu. Sedang dalam proses penyelesaian. Sebentar lagi cabut.
Omong-omong,
sudah jam pulang, wajar kelas sekarang kosong. Anak-anak lain pasti sudah
kembali ke asrama. Yakinlah Mayoko dan kawan-kawan telah berleha-leha di kasur
dan geng-geng cowok bara angkatannya kumpul bareng seperti jadwal mereka—setiap
hari, ngartis banget—membuat ruang
rekreasi yang dipakai seluruh murid-murid Ryokubita tanpa terkecuali berantakan
dengan bantal-bantal kursi yang berserakan dan meninggalkan sampah bungkus
makanan-kaleng minuman. Hh, pokoknya mereka mengesalkan sekali. Tunggu sampai
kepala asrama ada yang memergoki mereka—selama ini cuma lolos-lolos saja,
perasaan.
Salah-satu
manusia yang berada pada bagian tersebut sangat Akira kenal sebagai pencipta
masalah dimanapun gadis ini meminjakkan kaki di antero bumi—
“Woy
kecil—”
“hng?”
“—minggir.”
—ya,
ini dia, Arata Konoe. VII-1, Bara. Kenapa sih bisa ada monster seperti dia yang
tercipta?
Tubuh
mungil Akira digeser paksa oleh tangan kasar tak bertanggung jawab. Ada saja
cemooh barunya, setiap hari. Kreatif, dalam konstek buruk. Akira sampai harus
makan hati terus, walau ujung-ujungnya ia bakal keluarkan sifat asli yang
jutek. Begini-begini Akira bisa melawan. Beberapa kali Akira berhasil memergoki
Arata dengan kelakuan bodohnya. Sempat tertawa—eh, ralat—menertawai. Kalau perlu,
ia tertawakan di depan orang banyak, lain
kali.
Kali
ini sih, Akira pilih diam.
Tapi
matanya tidak, terus mengobservasi Arata sekaligus gelagatnya. Orang aneh,
masuk kelas dengan malas, lalu menyiksa dan sekarang—“HEY! Jangan rusak susunan
kursinyaa!” Akira buka mulut, ini bukan sesuatu yang harus dibiarkan tahu.
Arata berusaha merusak keindahan kelasnya yang baru sesaat. Bagaimana perasaan
kalian kalau jadi Akira? Tahu kan rasanya?
Pria
itu terperangah sejenak lalu melanjutkan kegiatannya memeriksa kolong meja, “Kalau
ada yang ketinggalan bilang saja—“ Akira membawa tubuh mungilnya mendekati
Arata dan sekejap mengopi gerakan, “—Aku tadi piket, mungkin melihatnya—“ Arata berpindah
menjauhi, ternyata ia berjalan tepat ke tumpukan sampah yang baru saja Akira
selesai kumpulan. Arata mungkin kelewat pinta—diacak-acaknya kotak sampah
dengan wajah tanpa dosa, “—Jangan hey—“ PRANG!
Kotak sampahnya tumpah—Arata yang menjatuhkannya.
“K-kurang
aj—“
“Ketemu!”
“Apa-apaan
sih kau, menghancurkan semuanya... Sini tanggung jawab dulu, jangan pergi, hey
kau!”
Arata
kabur, ia berlari menuju pintu keluar. Tapi sayang kaki panjangnya tidak bersahabat
dengan hakama yang ribet ini, “Siniiii... bereskan duluuu...”
“Lepaskan
tanganmu dari telingaku, pendek!”
“Tidak
mau!”
Ck.
“Woy,
upil naga! Boleh tanya, ‘kan? Kau kecilnya di panti jompo—eh?”
Kok
tahu.
“Cerewet,
seperti nenek-nenek!”
Kabur.
~0o0o0~
Tempat
pensilnya ketinggalan. Wahaha, Akira kau kenapa?
Pasti
ia lupa masukkan lagi dalam tas setelah belajar tadi malam—ah tahu begini,
tidak usah buka buku sekalian saja. Lagian ia sudah lelah karena piket
sendirian. Dan ceritanya, kalau tidak bawa alat tulis, bagaimana ia mau
mencatat hari ini? Tidak bisa dibiarkan kalau ia harus ketinggalan pelajaran
Gonda-Sensei alih-alih tidak mampu mencatat semua pembahasan hari ini yang
biasanya akan lebih didominasi oleh pertanyaan-pertanyaan. Mencatat di luar
kepala? Memangnya Akira mesin? Agak mustahil apalagi sampai mengingat detail
sebuah peristiwa yang Gonda-Sensei jelaskan.
—“Kau ada pensil tidak?” meminta bantuan
pada teman-teman dengan jarak terdekat. Semua menggeleng dengan berbagai alibi.
Kebanyakan hanya punya satu, ada sih yang punya lebih tapi sudah dipinjam sama
yang lain. Bahkan, ada yang sama-sama tidak punya dan mereka memang tidak perlu
membawa—kelihatannya, “Bolpoin deh
bolpoin.” Baik, hari ini banyak yang senasib dengan Akira, setidaknya.
Kepalanya
berotasi. Mengantisipasi setiap makhluk-makhluk dengan perawakan penuh
kelengkapan alat tulis.
Sial!
—Akira
malah menemukan, pria itu, Arata. Duduk pada bagian nyaris paling belakang yang
mungkin saja tempat yang pas untuk tidak memperhatikan atau diperhatikan
Gonda-Sensei. Menadahi kepalanya dengan permukaan meja dan meniup dua buah
pensil yang menggelinding menjauhi-mendekati bibirnya.
Hah,
demi apapun, Akira tidak mau pinjam ke Arta. Harga dirilah. Gengsi dong
meminjam pada pria licik, “Punya pensil lagi?” masih keliling kelas tanpa
memedulikan Arata, usaha-usaha-usaha. Tapi jangan sampai ketahuan dua orang ini—Gonda-sensei
yang bakal marah karena menyaksikan akira hilir mudik. Dan pastinya Arata. Ih,
ogah. Bukannya dipinjamkan karena kasihan. Pria itu akan puas dalam cemoohannya
lagi nantinya.
Benar
saja, Akira tidak ketahuan. Tetapi hasilnya, nihil.
Akhirnya
Akira memutuskan kembali ke mejanya. Awalnya Akira masih duduk dengan benar,
lama kelamaan ia menadah dagu dengan menengadahkan kedua tangan sembari menutup
mata dan berdoa ada keajaiban datang. Refleks, kepalanya menoleh ke Arata
dengan isyarat ‘ingin pinjam’ yang tidak sengaja muncul dari air wajahnya. Cih,
ia malah balik lihat.
Arata
hanya memberikan isyarat. Kepalanya di dongakan sedikit, ‘apa?’ mungkin artinya
begitu. Akira juga tidak tahu pasti. Sekarang Arata mengambil salah-satu dari
pasangan pensil di mejanya. Menunjukkannya ke arah Akira, masa ia akan
meminjamkannya dan berharap Akira akan meraih si pensil. Lama ia bertahan
dengan posisi begitu. Arata benar-benar—Shimizu kecil menerima isyarat itu
dengan mulai bergerak untuk meraih pensilnya, kali ini pakai senyum. Astaga. Ia
pasti bahag—
“Weeeeek!”
ditariknya pensil tersebut lalu dipatahkan sambil memeletkan lidah.
KUTARIK
NANTI LIDAHMU ARATA BODOH!
Atau
Akira yang bodoh?
Wajah
kesal yang Akira pamerkan kini berdalih menghadap ke depan kelas. Ada Gonda-sensei
dan kumpulan tulisan kanji yang tidak akan bisa ia hapalkan begitu saja kalau
tidak dicatat. Nama tempat, nama pahlawan, nama peristiwa. Bagaimana Akira bisa
mengingat yang hari ini?
Hampir
menangis.
PLUK!
Sesuatu
menyentuh kepalanya. Tidak sakit sih, tapi lemparannya dirasa tepat. Menoleh
kembali ke belakangnya. Berharap bukan Arata. Sebelumnya, matanya terpasang
pada sebuah pensil yang menggelinding di dekatnya. I-ini kan—tanpa terimakasih,
Akira melirik minimal pada karakter yang sudah diyakini sebagai pemilik pensil.
Mulai
mencatat.
~0o0o0~
Mau
apa sekarang? Kembalikan sambil ucapkan terimakasih, pastinya. Harus pakai
senyum deh.
“Haloo...
Arata terimakasih, yaa.” Melemparnya ke atas tas Arata.
“—oh
iya.”
Memperhatikan
pria tersebut memasukkan pensilnya ke dalam kantung tasnya yang ternyata hanya
berisi sebuah pensil pasangan patahan yang dipakai Akira. Dan bagian tersebut
tidak diserut sama sekali, “Kau menulis pakai apa hari ini? Dan mana pensil
satu lagi, yang tadi kau tiup-tiup saat pelajaran sejarah? Jangan-jangan hari
ini kau juga meninggalkannya? Jangan acak-acak tempat sampah lag—“
Arata
malah menatapnya dingin, “...hh. Baka.” Seringai. Menyebalkan, seringai
menyebalkan Arata muncul!
“K-kenapa?”
“Itu
punya Yasushi. Aku cuma bantu cari—“ Setelah selesai memasukkan
barang-barangnya yang memang tidak banyak—niat sekolah tidak, sih—“Coba kau sudah
buang sampahnya kemarin, tidak bisa kau pinjam pensilku hari ini. Lebih baik
kupinjamkan pada Yasushi.”
Pergi.
Kata-katanya
selalu bisa membuat orang-orang merasa bersalah. Karakteristik Bara—mungkin
saja.
Verdigris.
Jumat, 30 Maret 2012
#1
---
Mungkin,
harusnya ia marah atau bahkan diam saja.
Mungkin.
Seingat
Matthew Oh, tidak ada janji yang diberikan Ayah yang pernah ditepati—memang. Harusnya
ia menyadari dari awal. Benar. Matthew tidak harus berada di Jepang sendirian.
Susun ulang rencana untuk liburan tahun depan. Lebih baik, ia mengusahakan Mr.
Smitthenson untuk ikut, namun membiarkan ia tinggal di tempat lain. Di hotel
yang berbeda dengannya. Misal Matthew berada di Tokyo, perintahkan saja Mr.
Smitthenson pergi ke hotel lain di—bisa jadi Osaka atau Sendai bahkan yang agak
lebih jauh sedikit, di Hokkaido. Sebenarnya pengetahuan Matthew mengenai
kota-kota yang terdapat di Jepang sangat minim. Ia hanya berusaha sok tahu,
kali ini. Seperti biasa.
Di
depan Mr. Smitthenson ia bisa mengomel panjang lebar. Mengutuk-ngutuk
pengawalnya seakan mengikis kesabaran pria tua tersebut. Tapi sekarang, dalam
perjalanannya menuju mobil, Matthew hanya sanggup melihat ke bawah. Searah
langsung dengan layar telepon genggam yang sedang menyala di genggaman sambil
mengetik asal alih-alih menghilangkan depresi. Setelah ini ia akan kisut
setengah mati dibentak oleh ayahnya. Ayahnya yang seorang pengusaha akan
memberikan segalanya pada Matthew asal hal tersebut dapat didapatkan dengan
uang. Dimanjakan. Anehnya, sifat disiplin seorang pengusaha tetap diajarkan
pada anaknya sebagai penerus tunggal perusahaan. Jadi, Matthew akan sering
dimarahi dengan segala kesalahan yang ada termasuk kabur sendirian ke Jepang—ia
mengira.
Tetapi,
bukannya ganjil kalau ayahnya menyusul ke Jepang hanya karena hal ini, lagipula
Matthew sudah izin. Bahkan tidak satu pihak saja pada Ibu, tapi pada ayahnya
juga.
Mobil
sedan hitam mengkilat yang di parkir agak jauh dari taman tempatnya bersantai
barusan menikmati gugurnya sakura 2011 terlihat jelas, bahkan dari jarak yang
lumayan jauh. Matthew mengawasi dari jauh. Memperkirakan kehadiran orangtuanya
di dalam sana. Ia menyipitkan mata berusaha mencari tahu. Kalau-kalau ada bayangan
sepasang manusia muncul, ia bersiap mencari kalimat pembelaan. Walau tetap merasakan
keanehan dengan semuanya. Mungkin ia akan berakhir dengan kalimat pertanyaan ‘ada apa?’ dan sejenisnya.
Mr.
Smitthenson dengan penampilan normalnya, pakaian seragam lengkap, kemeja putih,
jas hitam sekaligus dasi dan terusan senada—pria tua botak beruban itu lari
lebih cepat meraih gagang pintu mobil.
Syukurlah.
Tangan
keriputnya menunjuk ke dalam mobil. Bahasa tubuh mempersilahkan Matthew untuk
masuk pada bangku belakang. Well, tidak ada siapa-siapa. Ternyata Mr.
Smitthenson sendirian. Kenapa tidak bilang daritadi. Tidak perlu membuat
Matthew was-was, bisakan?
“Dimana
ayah dan ibu?” Resonansinya meninggi, tidak ada lagi yang perlu ditakutkan.
Disaat yang sama, segera sang pengawal mengencangkan sabuk pengamannya dan
melirik sedikit ke spion. Terdengar pula suara gas mobil lembut dari dalamnya.
Pak
tua itu diam, “Kita mau kemana?”
Masih
hening.
“Hei!”
Matthew
melempar telapak kakinya ke lantai mobil. Baiklah, rasa kesalnya hilang—sedikit.
Dikarenakan ia lebih baik makan hati terlebih dahulu seperti biasa dengan
kelakuan Mr. Smitthenson yang terkadang ya, ia lebih memilih untuk mendengarkan
ayah. Pasti ini karena ayah, memerintahkannya untuk diam sepanjang Matthew
bertanya. Bilang saja.
Tiga
menit, lima menit, sepuluh menit.
Sebuah
putaran setir mengakhiri perjalanan mereka. Di depan gedung dengan desain biasa
seperti kantor pada umumnya. Matthew belum mau turun sedangkan lagi-lagi Mr.
Smitthenson melakukan kegiatannya berulang untuk membuka pintu untuk Matthew
dan rentak ripitasi memberikan tangannya terulur mengarah ke luar mobil.
Kali
ini Matthew memilih bungkam tanpa banyak bertanya. Meletakkan telepon genggam
di dalam kantung jaket lalu menyisihkan diri keluar dari mobil lewat pintu
sebelah kiri yang langsung mengarah pada pintu masuk gedung. Gedung tinggi yang
mungkin terhitung ada belasan lantai di dalamnya.
Mengikuti
Mr. Smitthenson dari belakang setelah pria tersebut menutup pintu mobil.
Matthew mengerti. Pasti ini tempat dimana ayah berada. Yang ia pikirkan,
mungkin sekarang ayah punya urusan lain mengenai bisnisnya disini. Tetapi apa
urusan anak laki-laki tunggalnya dengan bisnis? Matthew belum bisa diandalkan
sama sekali tentang urusan begini. Jangan salahkan kenapa ia bingung.
“Ibu!”
Langkahnya diperbesar bahkan sanggup menyusul posisi Mr. Smitthenson. Ternyata
ibu telah berada di lobi—ia menunggu. Setelah mencapai ibunya, ia memeluk wanita
bermarga sama dengannya itu, “Ibu tahu kenapa aku dibawa kesini?” Tipikal
manja. Cara bertanyanya pun tidak sesuai dengan genitasnya sebagai seorang laki-laki
dengan usia remaja.
Tubuhnya
masih terbalut tangan ibu, “it seems your dad hiding something, eh?” Refleks
pria dalam konversasi mengangguk.
“Ibu
saja yang beritahu,” Ucap wanita paruh baya dengan dandanan berlebihan di
hadapannya, “Tapi kalau ayah datang, Matt harus berakting tidak tahu apa-apa,
ya?” Sekali lagi, Matthew mengangguk—payah, dengan gayanya yang manja, “Ikut
ibu.” Dan ya, Mr. Smitthenson mengikuti dari belakang.
Gedung
besar tersebut menjadi tanda tanya besar bagi Matthew. Apa ini? Untuk apa ini? Dan
yang terpenting, apa hubungannya dengan dirinya?
Sadarkah,
setelah ia menjadi murid Beauxbatons Academy dan keluar dari sana untuk
liburan, keluarganya terlihat lebih aneh. Merasa?
Badannya
menempel pada sang ibu. Matthew mencintai ibu lebih dari apapun. Bahkan,
setelah usahanya kabur ke Jepang malah tertangkap seperti ini, bisa ia lupakan
seketika hanya dengan elusan dari sang ibu. Bocah.
Namun ia tidak terlalu memperdulikan hal yang ia lakukan pada ibunya di depan
banyak orang. Seperti biasa, ia cuek. Lagipula beberapa orang yang dilihatnya
bahkan yang saling mengawasi dengan Matthew lagaknya mirip dengan anak buah
ayah di kantor Korea. Memberikannya sedikit kode.
“Kantor
ini punya ayah, Bu?”
“Na-ah.”
Gelengan yang ia dapatkan.
Terakhir,
langkah mereka sama-sama terhenti di sebuah pintu besar yang di dalamnya
tergambar sebuah ruangan luas dengan ornamen kaca ukiran. Ibunya melepas
pegangan erat Matthew dengan lembut lalu perlahan membuka lebar pintu tersebut.
Percaya
atau tidak, ruangan itu tidak berisi sesuatu yang istimewa. Hanya beberapa sofa
berjajar, sebuah bendera jepang di belakang meja kerja dan kursi hitam
bersandar dari kulit. Kaca-kaca besar dua kali tinggi Matthew sebagai jendela
dan ornamen wallpaper ukiran-ukiran bunga pada dindingnya. Warna monoton putih
dan hitam mendominasi. Biasa bukan.
Ibu
menariknya masuk ke dalam, duduk di sofa lembut seperti di rumah dan menutup pintunya
lagi-lagi dengan lembut.
Heran,
ibu masih bisa bilang ini bukan kantor milik ayah sedangkan mereka dengan
santainya masuk ke dalam ruangan yang sepertinya menjadi ruangan utama dalam
gedung tersebut. Ruangan teristimewa sepanjang Matthew berkeliling.
“Perusahaan
ini bergerak di bidang pendidikan.” Ibunya memulai dengan rentak duduknya
bersebelahan dengan Matthew. Sekarang yang berkromosom XY satu-satunya merasa
pembicaraan ini mulai serius. Ibu memulai kisahnya, “Ya, ibu tidak tahu jelas
sih masalah begini—“ jeda, Ibu memainkan jemarinya sambil bergantian melirik
pada Matthew lalu jendela ke luar, “—tapi yang ibu dengar dari ayah, tugasmu
hanya untuk mengatur ini-itu. Pokoknya ibu tidak mengerti jelas.”
“Hah?”
Suaranya
tersendat, “tugasku?”
“I-iya.”
Ibu
pasti bercanda, ia tahu pasti ibunya suka bermain-main. Memutuskan untuk
mengabaikan pernyataan tersebut. Selanjutnya—“kenapa bisa duduk santai disini,
kalau bukan kantor ayah—jadi gedung ini milik siapa?”
...
“Milikmu,
nak.” Mr.
Smitthenson mengangguk dari sudut lain ruangan dan menyembunyikan sebuah
seringai.
Oh, sial.